Jadilah Istri yang Bahagia

      Jauh dari orangtua dan berulangkali kesulitan mendapatkan pembantu rumah tangga yang cocok dan setia, membuat Tiara (36), sesudah berdiskusi dengan Faishal, suaminya, memutuskan berhenti bekerja dan menjadi ibu rumah tangga full timer sejak kelahiran anak ketiga mereka, dua tahun lalu. Awalnya Tiara gembira dan menikmati hari-harinya. Namun nyatanya hari-hari Tiara belakangan ini bagaikan langit tersaput mendung. Suram tak bercahaya.

      Pekerjaan rumah yang bertumpuk-tumpuk seakan tak pernah selesai untuk ditangani. Baru saja menyelesaikan cucian piring, matanya sudah tertumbuk pada pakaian menggunung yang menanti disetrika. Mainan-mainan anak yang sudah dibenahi, sudah berserakan lagi di sana-sini. Ketiga anaknya pun seolah tak pernah berhenti memberinya tambahan pekerjaan. Ngompol, menangis, berkelahi atau menyulap rumahnya menjadi semacam medan pertempuran atau diorama kehancuran kapal Titanic.

      Sementara itu sudah beberapa kali dalam sebulan, di supermarket, Tiara bertemu mantan teman-teman kerjanya yang kini kelihatan lebih keren, lebih cerdas dan lebih hebat. Makanya, ketika Faishal di malam hari menggoda Tiara yang tidak lagi ‘nyambung’ diajak bicara soal eksploitasi perusahaan asing di Indonesia, dengan berkata, “Gimana nih Ummi, soal begitu saja kok nggak ngarti. Lagi rame tuh di koran. Baca dong. Masa mantan aktivis senat kampus kayak kamu ketinggalan post…” Tiara langsung menangis hebat di kamar berjam-jam lamanya.

      Tiara bukan tak menyadari, sudah beberapa bulan terakhir dia tak pernah sempat lagi membaca koran apalagi membaca satu saja dari ratusan koleksi buku yang dimilikinya. Dan boro-boro aktif di LSM atau yayasan, untuk mengikuti pengajian rutin pekanan saja sudah membuat Tiara kelimpungan karena harus mengikutkan ketiga jagoannya.

      Dalam kegusarannya malam itu, Tiara jadi merasa begitu bodoh, mandeg, tak becus, tidak keren dan tidak berdaya. Pendek kata, sebagai seorang ibu rumahan, Tiara merasa capek lahir batin dan tidak merasa bahagia!

***

      Berjuta perempuan telah menjadi ibu dengan segala urusan yang berkait erat dengannya; anak, suami hingga pengelolaan rumah tangga. Tetapi, mengapa ada yang merasa uring-uringan dan tidak bahagia meski baru beranak tiga seperti Tiara, tetapi ada pula yang sudah beranak delapan tetapi hidupnya terlihat hepi-hepi saja? 

      Jawabannya adalah: Karena rasa bahagia, yang bisa diukur dari puas, tentram, senang dan damainya hati sesungguhnya bukan merupakan pemberian siapa-siapa melainkan sebuah pilihan. Sehingga dalam setiap situasi yang hampir serupa, dua orang yang berbeda bisa memilih respon berbeda soal hidupnya; mau merasa sebal, bete, tidak puas dan uring-uringan, atau sebaliknya merasa hepi-hepi saja.

Ibu yang bahagia lebih kreatif

      Hanya tentu, sebelum melakukan pilihan, setiap diri perlu menyadari benar apa-apa kelebihan dan kekurangan dari setiap pilihan. Dan masalahnya, tidak banyak yang mampu melihat keriuhan peran seorang ibu sebagai keindahan dan keistimewaan, melainkan sebagai sebuah beban.

      Karena itu, banyak pula ibu yang tak memiliki konsep diri positif pada perannya sebagai ibu sehingga dia mudah merasa tidak bahagia. “Kalau tak ada konsep diri yang positif pada peran-peran keibuan, bagaimana dia bisa mencintai perannya, menghargai perannya dan kemudian memaksimalkan perannya sebagai ibu,” jelas Ustadz Amang Syafruddin, pembina Yayasan Al-Qudwah, Depok, Jawa Barat.

      Ustadz Amang lantas mencontohkan, ada ibu-ibu yang seringkali memposisikan dirinya sebagaimana pembantu dalam rumah tangga. Maka setiap kali ia mengurus rumah tangga, suami dan anak-anak, ia merasakan tindakannya sebagai sekedar pemenuhan kewajiban bahkan beban yang memberatkan, bukan tindakan pelayanan yang dilandasi oleh rasa cinta dan keinginan untuk memberikan kebaikan-kebaikan pada yang dicintai.

      “Lama-lama bisa muncul beban psikologis dalam diri ibu ini. Merasa tak ada penghargaan. Tak ada kebanggaan. Apalagi kalau dapat hasutan, ngapain kok di rumah saja, kayak pembantu. Semakin tak bisalah ibu ini melihat peran keibuannya sebagai sebuah penghormatan dan kemuliaan dari Sang Pencipta Allah Swt.”

      Psikolog Ery Retno Artini, juga mengemukakan hal serupa. Menurutnya, tanpa pengelolaan konsep diri yang positif, seorang ibu akan sulit menjalani perannya dengan penuh cinta dan kebahagiaan. Padahal, jelasnya, rasa bahagia amat erat kaitannya dengan kerja otak yang maksimal, yang kreatif.

      “Seseorang yang merasa bahagia, akan banyak akal, kreatif, berpikirnya pun jadi lincah. Sehingga seorang ibu yang bahagia, akan memiliki banyak jalan, banyak langkah, banyak solusi untuk menghadapi problematika kerumahtanggaan.”

      Mengapa bisa demikian? Sebab, papar pendiri TK Kebon Maen ini lagi, dalam kondisi susah, sedih, atau merasa tidak bahagia ada bagian-bagian otak yang menutup hingga menyulitkan seseorang untuk menggali ide, mencari terobosan-terobosan, solusi atau kreasi dalam menghadapi hidup. Tak heran, orang yang tengah susah atau banyak tekanan jadi sulit berkonsentrasi, berpikir, hingga kadang merasa pikirannya pun jadi buntu.

      Saat menangani anak, misalnya, pilihan ibu yang otaknya sedang tertutup ketidakbahagiaan, kesedihan atau tekanan, jadi terbatas. “Ia cenderung menangani anak hanya dengan marah, karena sang ibu ini nggak punya ide lain, bagaimana menangani anak,” contoh Ery.

Kuatkan konsep diri positif

      Berkaitan dengan upaya meningkatkan konsep diri positif seorang ibu, Ustadz Amang meminta agar setiap ibu atau calon ibu diberi banyak kesempatan maupun dukungan agar mampu memperkuat konsep diri yang positif soal peran keibuan. Baik lewat kajian-kajian, nasehat atau contoh-contoh.

      Secara pribadi, jelasnya, setiap ibu perlu menyadari dan mempelajari bahwa peran ibu adalah peran pemuliaan dari Allah Swt yang dianugerahkan kepada perempuan. Betapa seorang ibu adalah guru utama dan pertama bagi seorang manusia, dan segala apa yang ia kerjakan, berikan, ajarkan bagi anaknya, pun bagi keluarganya yang lain akan dicatat sebagai sebuah ibadah kepada Allah Swt.

      Cobalah tengok dalam sejarah, saran Ustadz yang tengah mengambil pascasarjana psikologi ini pula, sebagian besar orang-orang hebat, orang-orang ‘besar’, memiliki kunci kesuksesan pada peran ibunya yang sangat kuat. Diantaranya kita peroleh nama Ismail As., Isa As., Musa As., Abdullah bin Zubair Ra., Uwais Al Qarni Ra., atau Imam Syafi’i Ra.

      Mereka menjadi pribadi yang luar biasa, karena lahir dan dibesarkan ibu yang juga luar biasa, yaitu ibu yang mampu mengenalkan dan mencontohkan karakter mulia, keimanan, ketaqwaan, kebijaksanaan, kesungguhan, ketawakalan dan kekuatan doa.

      Dengan menyadari mulianya peran keibuan untuk melahirkan dan menumbuhkan generasi, seorang ibu akan mampu menghargai dirinya sendiri, bangga dengan perannya dan menjadi bahagia. Lantas, “seorang ibu yang bahagia, pastilah bisa menjalankan perannya secara maksimal tanpa merasa terbebani,” jelas Ery.

      Ustadz Amang menambahkan seorang ibu yang bahagia meski ia tidak banyak memberi lontaran knowledge, pengetahuhan, namun akan mampu memberi banyak wisdom, kebijaksanaan. “Dan sudah diakui, dalam menghadapi banyak masalah kehidupan, wisdomlah yang lebih banyak diperlukan.”

Lelah fisik, lelah batin dan perfectionist

      Namun, memang tak mudah untuk selalu menghadirkan rasa bahagia, apalagi bila pada kenyataannya banyak persoalan-persoalan kerumahtanggaan atau kehidupan yang harus dihadapi. Selain ketiadaan konsep diri positif, ada beberapa faktor lain yang bisa membuat seorang ibu merasa tidak berbahagia, kata Ery yang hobi traveling ini lagi, misalnya kelelahan, merasa tak dicintai pasangan, hingga problem pemenuhan kebutuhan yang belum tercapai.

      Soal kelelahan, menurut Ustadz Amang, dapat diatasi dengan melakukan pendelegasian sebagian tugas kerumahtanggaan, misalnya kepada pembantu rumah tangga. Sebab, tugas seorang ibu yang utama adalah melayani anak dan suami, kemudian barulah menjadi manajer atau pengelola, rumah tangganya.

      “Maka menjadi hak seorang isteri untuk disediakan pembantu oleh suaminya untuk meringankan pekerjaan rumahtangganya. Apalagi jika pekerjaan-pekerjaan itu bisa menghalangi maksimalnya sang ibu melayani anak dan suaminya.”

      Sementara Ery menyarankan para ibu untuk bekerja secara sistematis agar pekerjaan bisa terselesaikan dengan baik. Kadang, ibu-ibu tak memiliki kejelasan, mau mengerjakan apa dulu, dari mana mulainya, sehingga pekerjaan rumah tangga jadi terkesan banyak, tak habis-habis dan tentu saja melelahkan karena terlihat ruwetnya.

      “Apalagi kalau kemudian sang ibu ini juga sangat perfect. Baju anak, suami, harus dicuci sendiri. Masakan, harus buatan sendiri. Sebab, kalau orang lain yang mengerjakan nggak sreg. Akhirnya, sang ibu menjadi lelah, lantas ujung-ujungnya ketika ada satu yang tidak tercapai, tidak bahagia juga.”

      Soal masalah dengan pasangan, Ery menyarankan para ibu menjalin komunikasi dengan gaya “menjual” diri, yang berarti, kalau pasangan tidak apresiasi pada sesuatu, ya diungkap saja. “Misalnya, habis pakai baju barukok tidak ditanggapi. Utarakan saja, ‘Pa, lihat sesuatu yang baru gak…?’ Atau sedang ingin diperhatikan, ya bilang saja…,” kata isteri dari Irwan Rinaldi ini.

Bahagia dari hati, karena Allah

      Kalaupun kemudian tetap merasa kurang mendapat support dari suami, anak atau lingkungan, setelah ‘bercapek-capek’ bekerja, Ery meminta seorang ibu untuk tidak menjadi sedih dan lantas merasa tak bahagia.

      “Ingatlah bahwa yang bisa membuat bahagia adalah diri kita sendiri. Kalau kita mengharap orang lain yang membahagiakan kita, lantas kita bekerja, capek, tidak merasa dapat apresiasi, lalu kita ngegerendeng, monyong-monyong, nggak terima, tidak bahagia. Pahala hilang pula.”

      Karena itu, tegas Ery, yang terbaik, saat merasa sendirian, saat merasa tak mendapat apresiasi, ingat bahwa apresiasi yang sesungguhnya adalah dari Allah Swt, yang mencintai kita.

      “Kita bekerja keras bukan demi siapa-siapa, kok, tetapi karena Allah. Biarpun orang tak memberi apresiasi, kalau yang kita kerjakan benar, pasti ada apresiasi dari Allah. Ada pahala, dari Allah yang Maha Cepat Menghitungnya dan pasti memenuhi janjiNya.”

      Kalau sudah sampai taraf ini, tak ada lagi alasan untuk merasa tidak bahagia kan?(Zirlyfera Jamil/ bahan Rahmi dan Rosita)

sumber ummi-online.com

0 Response to Jadilah Istri yang Bahagia

Posting Komentar